Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengaku tak masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen di 2025. Syaratnya, upah buruh juga naik sebesar 20 persen. (JUNI KRISWANTO/AFP/Liputan6)
SAFAHAD NEWS - Kelompok buruh FSBPI dan KSBSI menyebut kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% pada tahun depan "tidak ada artinya" jika pemerintah memberlakukan setidaknya sepuluh kebijakan baru yang membebani kelas pekerja.
Kebijakan yang mereka sebut, antara lain kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kenaikan iuran BPJS kesehatan, perubahan subsidi KRL berbasis NIK, pembatasan subsidi BBM, dan iuran Tapera.
Pengamat ekonomi dari Celios, Bhima Yudhistira, juga memiliki pendapat yang sama. Ia mengatakan, kalau dengan asumsi inflasi tahun depan 4% maka kenaikan upah pekerja sesungguhnya cuma 2,5%.
Dampaknya, kata Bhima, wacana Presiden Prabowo Subianto meningkatkan daya beli pekerja akan sulit terwujud.
Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia, Bob Azam, bilang kenaikan upah yang ideal menurut hitungan lembaganya hanya sebesar 3,5%. Mereka berpijak pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang pengupahan.
'Upah enggak seberapa, tapi pajak naik'
Seorang buruh pabrik di Yogyakarta, Windhy, mengaku pasrah ketika mendengar pengumuman dari Presiden Prabowo Subianto soal besaran kenaikan upah minimum rata-rata nasional 6,5%.
Sebab kalau diuangkan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Yoygakarta hanya akan mencapai Rp138.000. Angka itu tak jauh beda dari kenaikan tahun-tahun sebelumnya yang tak pernah lebih dari Rp150.000.
Pada 2024, UMP Yogyakarta adalah Rp2.125.897. Jika dikalkulasi dengan kenaikan 6,5%, jumlahnya menjadi Rp2.264.080.
Perempuan 24 tahun ini mengatakan upah sebesar itu "ngepas sekali" untuk memenuhi kebutuhannya beserta suami dan anaknya yang berusia 15 bulan.
"Rasanya sama saja karena biasanya upah naik itu per tahun Rp100.000, Rp120.000, Rp150.000 gitu,” katanya, Minggu (01/12).
Windhy bekerja sebagai penjahit di pabrik konveksi. Setiap hari dia bekerja dari jam 7 pagi sampai 3 sore. Karena tergolong pegawai baru, Windhy dapat kerja lembur satu hingga dua jam. Dari lembur itu, dia bisa mendapatkan tambahan Rp150.000 per bulan.
Tambahan pemasukan Windhy dari suaminya yang bekerja di bengkel juga tak terlalu besar. Pasalnya, sang suami dibayar per hari—itu pun berdasarkan jumlah jasa service yang dia lakukan.
Semua uang hasil keringatnya dan suami, kata Windhy, dipakai untuk kebutuhan keluarga.
Pengeluaran terbesar mereka adalah cicilan utang ke bank dan keperluan sehari-hari yang jumlahnya bisa sampai Rp2 juta.
"Popok bayi dan susu itu lumayan besar pengeluarannya," kata Windhy.
Itulah mengapa, bagi Windhy, kenaikan upah 6,5% tak bisa menutupi mahalnya harga-harga kebutuhan pokok tahun depan. Belum lagi, sambungnya, ada rencana kenaikan PPN 12%, wacana kenaikan harga BBM, dan iuran BPJS kesehatan.
Kalau semuanya naik, Windhy merasa hidupnya makin berat.
"Saya, ya keberatan. Apalagi BBM naik. Sekarang saja ongkos pergi-pulang rumah ke pabrik sudah berat. Ngos-ngosan. Dari rumah ke pabrik 45 menit naik motor, jauh," ucapnya.
Menurut hitungan kasarnya kenaikan upah yang ideal sekitar Rp500.000.
Tapi kalaupun pemerintah tak bisa memenuhi kesejahteraan buruh, setidaknya jangan menaikkan pajak dan hal-hal yang memberatkan lainnya.
"Kalau menurut saya, UMP naik tapi pajaknya jangan. Kalau sebagai buruh pabrik, dikasih pajak segitu padahal gajinya enggak sepiro [seberapa], memang UMP naik tapi sama aja harus bayar pajak dan lain-lain".
[bbc]
Lihat Juga
Lihat Juga